Rabu, 26 Mei 2010

Dinasti Turki Ustmani

DINASTI TURKI USTMANI
(699-1342 H/ 1299-1923 M)
A. Pendahuluan
Setelah Khilafah Abbasiyah di Baghdad runtuh akibat serangan tentara Mongol, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran secara drastis. Wilayah kekuasaannya tercabik-cabik dalam beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain saling memerangi. Beberapa peninggalan budaya dan peradaban Islam banyak yang hancur akibat serangan bangsa Mongol itu, Keadaan politik umat Islam secara keseluruhan baru mengalami kemajuan kembali setelah muncul dan berkembangnya tiga kerajaan besar, diantaranya Usmani di Turki, Mughal di India dan Safawi di Persia. Kerajaan Usmani ini adalah yang pertama berdiri juga yang terbesar dan paling lama bertahan dibanding dua kerajaan lainnya. Untuk mengetahui labih jelasnya maka dalam makalah ini akan kami terangkan lebih lanjut mengenai Turki Usmani.
B. Sejarah munculnya dinasti Turki Ustmani dan perkembangannya
Pendiri kerajaan ini adalah bangsa turki dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka kira-kira tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad kesembilan atau kesepuluh masehi ketika mereka menetap di Asia Tengah. Pada saat mendapatkan tekanan dari Mongol pada abd ke-13 M, mereka lari ke barat dan mencari pengungsian di tengah-tengah saudar sendiri, orang-orang Saljuk. Di dataran tinggi Asia kecil, di bawah pimpinan Etoghrul. Saat Saljuk sedang berperang dengan Bizantium. Dengan bantuan mereka, Saljuk menang. Sultan Alauddin menghadiahkan sebidang tanah di Asia kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak saaat itu, mereka terus membina daerah tersebut dan menjadikan kota Syukud sebagai ibu kota.
Setelah Etoghrul meninggal dunia pada tahun 1289 M. kepemimpinan dilanjutkanoleh putranya, Utsman. Dialah yang di anggap seagai pendiri Turki Ustmani. Ustman memerintah dari pada tahun 1290 dan 1326 M. Ia tetap berbakti kepada Sultan Alauddin sebagaimana ayahnya dan menaklukkan benteng-benteng bizantium yang berdekatan dengan kota broessa. Tahun 1300 Mongol menyerang Saljuk dan Sultan Alauddin terbunuh. Sejak saat itu, Saljuk terpecah kecil-kecil dan Ustman mengumumkan kemerdekaan, dengan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya. Ustman menjadi penguasa pertama dan disebut juga dengan Ustman I.
Pada masa Ustman, setelah menduduki Broessa tahun 1317 M, pada tahun 1326 daerah tersebut dijadikan ibu kota kerajaan. Kemudian pada masa Orkhan bin Ustman (1326-1359), mulai membentuk pasukan perang, anak-anak Nasrani yang telah mendapatkan pelatihan khusus. Dia berhasil menguasai sejumlah kota di selat Dardanil. Dia juga dapat menaklukkan Azmir (Samira) 1327, Thasyanli 1330, Uskandar 1338, Ankara 1354, dan Galipili 1356 M. Daerah ini adalah bagian benua Eropa yang dikuasai pertama kali.
Selanjutnya di pimpin oleh Murad I bin Orkhan (1359-1389), sebagai pengganti Orkhan, selain memantapkan keamanan dalam negeri, ia juga melakukan perluasan ke darah Eropa. Ia dapat menklukkan Adreanopel yang nantinya menjadi ibu kota kerajaan yang baru, Mecedonia, Sopia, Salonia, dan seluruh wilayah bagian utara Yunani. Paus merasa cemas terhadap kemajuan ekspansinya ke Eropa sehingga mengobarkan semangat perang. Pasukan sekutu Eropa disiapkan untuk untuk memukul mundur pasukan Ustmani yang di pimpin oleh Sijisman, raja Hongaria. Namun sultan Bayazid I bin Murad (1389-1403 M), pengganti Murad I dapat memukul mundur pasukan sekutu Kristen Eropa tersebut.
Ketika ekspansi diarahkan ke Konstantinopel, sempat berhenti lama. Karena tentara Timurlenk melakukan serangan ke Asia kecil. Pertempuran dahsat terjadi di Ankara tahun 1402 M yang mengalahkan tentara Turki Ustmani, sampai terbunuhnya Bayazid dan putranya Musa dalam tawanan yang terjadi tahun 1403.
Kekalahan itu, membwa akibat buruk bagi Turki Ustmani dengan melepasnya Saljuk, Wilayah Sarbia, dan Bulgaria juga memproklamasikan kemerdekaan.
Setelah Timurlenk meninggal dunia tahun 1405 M, kerajaan Mongol di bagi-bagi kepada putranya yang saling berselisih. Keadaan ini, dimanfaatkan oleh Turki Ustmani untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mongol. Namun perselisihan juga terjadi di antara putra Bayazid (Muhammad, Isa, dan Sulaiman), akhirnya Muhammad I bin Bayazid (1403-1421 M) dapat mengalahkan saudarnya setelah perang selama sepuluh tahun. Usaha Muhammad yang pertama adalah mengadakan perbaikan di sektor keamanan dalam negeri dan mengembalikan kesatuan pemerintahan. Usaha ini juga diteruskan oleh Murad II (1421-1451 M), dengan berusaha mengembalikan daerah yang memisahkan diri seperti Bulgaria, Serbia, Valachia, dan mengembalikan Albania. Salah satu puncak kemajuan dicapai pada masa Muhammad II (1451-1484) yang terkenal juga dengan Muhammad al-Fatih (sang penakluk). Muhmmad II dapat mengalahkan Konstantinopel sebagai ibu kota Bizantium tahun 1453 M, setelah mengepung dari berbagai penjuru.
Hal ini mempermudah ekspansi ke Eropa. Bayazid II bin Muhammad, berhasil mengalahkan pemerintahan Venezia di Italia, pada masanya Rusia melepaskan diri dan merdeka tahun 1481 M. selanjutnya, menjadi masa kekhalifahan Ustmaniyah. Kemudia setelah sultan Salim (1512-1520 M) berkuasa, dia mengalahkan pemerintahan Syafawiyah yang telah bersekutu dengan orang Portugis menghadi kaum muslimin. Ia mengalihkan pehatiannya ke Timur dengan menaklukkan Persia, Syiria, dan dinasti mamalik di Mesir. Usaha ini diteruskan oleh sultan Salim al-Qanuni (1520-1566 M). yang mengembankan ekspansinya ke seluruh wilayah yang ada disekitar Turki Ustmani. Sulaiman berhasil menundukkan Irak, Belgrado, Pulau Rodhes, Tunis, Budapest, dan Yaman. Sehingga wilayah Turki Ustmani pada masa Sulaiman telah mencapai Asia kecil, Armenia, Irak, Siria, Hejas, dan Yaman di Asia; Mesir, Libia, Tunis, dan Aljazair di Afrika, Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan Rumania di Eropa, sehingga mencapai puncak perluasan dan kebesarannya.
Setelah Sulaiman I meninggal dunia, terjadi prebutan kekuasaan oleh putra-putranya yang mengakaibatkan kemunduran. Meski demikian, kerajaan ini masih di anggap kuat dalam hal militer, setelah beberapa abad kemudian.
C. Puncak kegimilangan Turki Ustmani
Akibat kegigihan dan ketangguhan yang dimiliki oleh para pemimpin dalam mempertahankan Turki Ustmani membawa dampak yang baik sehingga kemajuan-kemajuan dalam perkembangan wilayah Turki Ustmani dapat di raihnya dengan cepat. Dengan cara atau taktik yang dimainkan oleh beberapa penguasa Turki seperi Sultan Muhammad yang mengadakan perbaikan-perbaikan dan meletakkan dasar-dasar keamanan dalam negerinya yang kemudian diteruskan oleh Murad II (1421-1451M). Sehingga Turki Ustmani mencapai puncak kejayaan pada masa Muhammad II (1451- 1484 M). Usaha ini di tindak lanjuti oleh raja-raja berikutnya, sehingga dikembangkan oleh Sultan Sulaiman al-Qonuni. Ia tidak mengarahkan ekspansinya kesalah satu arah timur dan Barat, tetapi seluruh wilayah yang berada disekitar Turki Ustmani itu, sehingga Sulaiman berhasil menguasai wilayah Asia kecil.
Sejak abad ke-17, kekuatan dan perkembangan armada kerajaan Ustmani membuat mereka melonggarkan cengkrama atas provisi-provinsi di Afrika berupa pemberian otonom kepada gubernur mereka. Baik yang di sebut pasya, bey, atau dey untuk bertindak sebagai penguasa lokal yang merdeka, bahkan lebih leluasa tinimbang saingan mereka di Mesir dan Suriah. Dengan armada yang kuat, sampai pada puncak aktifitasnya, pada paruh pertama abad tujuh belas, membahayakan pantai-pantai Italia, Prancis, dan Spanyol. Pada paruh kedua abad yang sama, ankatan perang Inggris dan Prancis di paksa untuk menghormati bendera mereka. Untuk menjamin keamanan, negara kecil terus memohn perlindungan untuk aktifitas dagang mereka. Para perampok memberikan kebesan mereka dengan syarat harus membayar upeti. Hai ini juga menimpa armada Belanda, Denmark, dan Swedia. Bahkan Amerika serikat harus menjamin keselamatan armadanya dengan memberikan upeti, dan pada tahun 1783 terlibat peperangan dengan Aljazair, markas besar para pembajak.
Sebagian besar penaklukan wilayah Afrika Utara di capai selama masa kekuasaan Sulaiman I (1520-1566), seorang anak penakluk Suriah-Mesir dan orang yang dan orang yang berdiri di puncak kesuksesan kerajaan Ustmani.
Pada masa pemerintahannya, sebagian wilayah Hogaria ditaklukkan, Wina tunduk, dan Rhodes dapat diduduki. Kekuatan Utsmani terus melebarkan sayapnya mulai dari Budapes di Danube ke Baghdad di Tigris, dan dari Cremia hingga air terjun pertama sungai Nil. Kerajaan ini menjadi kerejaan muslim terbesar pada musim modern, dan juga menjadi kerajaan muslim terlama sepanjang sejarah. Tidak kurang dari tiga puluh enam sultan yang semuanya laki-laki dari garis keturunan Ustman berkuasa dari tahun 1300 sampai pada 1922.
Sulaiman dikenal oleh rakyatnya dengan sebutan al-Qanuni (pemberi hukum) karena mereka sangat menghormatinya dan namanya oleh generasi berikutnya diabadikan menjadi nama himpunan perundang-undangan. Dia memberikan tugas kepada Ibrahim al-Halabi (dari Aleppo ) untuk menyusun sebuah hukum berjudul Multaqa’ al-Abhur (titik pertemuan lautan) yang menjadi kitab standar menyangkut undang-undang hukum Ustmani hingga terjadi reformasi pada abad ke-19. Keagungan raja besar itu tidak hanya diakui oleh rakyatnya tapi juga oleh orang Eropa mereka mengenalnya sebagai “Yang Agung” dan itu sesuai dengan kenyataan. Istananya menjadi salah satu istana termegah se Eurasia (Eropa-Asia).
Kemajuan dan perkembangan wilayah kerajaan Ustmani yang luas berlangsung dengan cepat dan diikuti oleh kemajuan-kemajuan dalam bidang-bidang kehidupan lain yang penting, diantaranya :
a. Bidang Kemiliteran dan Pemerintahan
Untuk pertama kalinya Kerajaan Ustmani mulai mengorganisasi taktik, strategi tempur dan kekuatan militer dengan baik dan teratur. Sejak kepemimpinan Ertoghul sampai Orkhan adalah masa pembentukan kekuatan militer. Perang dengan Bizantium merupakan awal didirikannya pusat pendidikan dan pelatihan militer, sehingga terbentuklah kesatuan militer yang disebut dengan Jenissari atau Inkisyariah. Konstantinopel yang merupakan ibu kota Bizantum akhirnya dapat ditaklukkan setelah dikepung selama 53 hari dengan 250.000 pasukan yang di pimpin langsung oleh sultan Muhammad II merupakan bukti kehebatan tentara turki.
Selain itu kerajaan Ustmani membuat struktur pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi di tangan Sultan yang dibantu oleh Perdana Menteri yang membawahi Gubernur. Gubernur mengepalai daerah tingakat I. Di bawahnya terdapat beberapa bupati. Untuk mengatur urusan pemerintahan negara, di masa Sultan Sulaiman I dibuatlah UU yang diberi nama Multaqa Al-Abhur , yang menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Ustmani sampai datangnya reformasi pada abad ke-19. Karena jasanya ini, di ujung namanya di tambah gelar al-Qanuni.
b. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Budaya
Kebudayaan Turki Ustmani merupakan perpaduan bermacam-macam kebudayaan diantaranya adalah kebudayaan Persia, Bizantium dan Arab. Dari kebudayaan Persia mereka banyak mengambil ajaran-ajaran tentang etika dan tata krama dalam istana raja-raja. Organisasi pemerintahan dan kemiliteran banyak diserap dari Bizantium. Dan ajaran tentang prinsip-prinsip ekonomi, sosial dan kemasyarakatan, keilmuan dan huruf diambil dari Arab. Dalam bidang Ilmu Pengetahuan di Turki Ustmani tidak begitu menonjol karena mereka lebih memfokuskan pada kegiatan militernya, sehingga dalam khasanah Intelektual Islam tidak ada Ilmuan yang terkemuka dari Turki Ustmani.
Sedangkan dalam bidang budaya, pada ke-17 munculnya seorang penyair terkenal Nafi’ (1582-1636 M), yang bekerja untuk Murad dengan menghasilkan karya-karya yang mendapatkan tempat di hati para sulatan. Di antara penulis yang membawa pengaruh Persi ke istana adalah Yusuf Nabi (1642-1712 M), ia muncul sebagai juru tulis Mushahif Mustafa, seorang mentri Persia dan ilmu-ilmu agama. Dia juga menulis puisi yang menyentuh berbagai persoalan, seperti agama, filsafat, roman, cinta, mistisisme, juga menulis masalah beografi, sejarah. Sina, seorang arsitek asal Anatolia, sebagai koordinator sedikitnya 235 pembangunan masjid, sekolah, rumah sakit, jembatan, villa, dan pemandian umum pada masa Sulaiman. Dalam bidang sastra prosa dikenal Haji Halife (1609-1657 M).
Di bidang seni-syair, hampir semua sultan Turki memiliki minat yang besar. Jalaluddin Rumi, yang merupakan bapak syair adalah orang Iran yang melintasi Siria, mengambil tempat di Asia kecil. Ia meninggalkan negerinya karena serangan bangsa Mongol. Atas jasa Rumi, seni bersyair berkembang di dunia Islam khususnya di masa Ustmaniyah. Penyair Turki yang ternama putra Jalaluddin Rumi, Yozzi Oghlu sangat terkenal karena syairnya tentang Nabi Muhammad, syekh Zada telah mengarang Sejarah Empat Puluh Mentari di persembahkan untuk sultan Murad II.
c. Bidang Keagamaan
Agama dalam tradisi masyarakat Turki mempunyai peranan besar dalam lapangan sosial dan politik. Masyarakat di golongkan berdasarkan agama, dan kerajaan sendiri sangat terikat dengan syariat sehingga fatwa ulama menjadi hukum yang berlaku. Oleh karena itu, ajaran-ajaran thorikot berkembang dan juga mengalami kemajuan di Turki Ustmani. Dua tarekat yang berkembang adalah Bektesy dan Maulawi. Para Mufti menjadi pejabat tertinggi dalam urusan agama dan beliau mempunyai wewenang dalam memberi fatwa resmi terhadap problem keagamaan yang terjadi dalam masyarakat.
Kemajuan-kemajuan yang diperoleh kerajaan Turki Ustmani tersebut tidak terlepas daripada kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, antara lain:
1. Mereka adalah bangsa yang penuh semangat, berjiwa besar dan giat.
2. Mereka memiliki kekuatan militer yang besar.
3. Mereka menghuni tempat yang sangat strategis, yaitu konstantinopel yang berada pada tititk temu antara Asia dan Eropa. Disamping itu keberanian, ketangguhan dan kepandaian taktik yang dilakukan olah para penguasa Turki Ustmani sangatlah baik, serta terjalinnya hubungan yang baik dengan rakyat kecil, sehingga hal ini pun juga mendukung dalam memajukan dan mempertahankan kerajaan Turki Ustmani.
D. Bibit kehancuran
Kerajaan, yang secara umum diatur untuk berperang daripada untuk memakmurkan rakyatnya, dan membangun kawasan yang terjangkau oleh pemerimtah dengan perangkat komunikasi baik, serta populasi yang heterogen di antara kelompok dan ras yang berbeda, dengan garis perpecahan yang kentara jelas antara Muslim dengan Kristen, bahkan antara muslim Turki dengan Muslim Arab dan antara sekte Kristen satu dengan yang lainnya, menjadi bibit subur kehancuran yang kelak akan mengikis kerajaan ini. Di sisi lain, dunia sedang mengagungkan nasionalisme, sehingga akan menambah buruk.
Kemunduran yang terjadi setelah meninggalnya sulaiman sampai pada paroh pertama abad ke-19. Satu persatu negeri Eropa yang pernah dikuasai oleh kerajaan ini memerdekakan diri. Bahkan daerah di timur juga berusaha memberontak. Kemunduran ini membuat mamalik kembali bangkit, di bawah pimpinan Ali Bey tahun 1770 M, mamalik kembali kuasa di Mesir, sampai datangnya Napoleon Bonaparte dari Prancis tahun 1798 M. di Libanon dan Siria seorang Fakhr al-Din pemimpin Druze, berhasil mengusai palestina pada tahun 1610 M, merampas Ba’albak dan mengancam Damaskus, dan baru menyerah tahun 1635. Di Persia, kerajaan Safawi beberapa kali mengadakan perlawanan kapada Ustmani dan beberapakali sebagai pemenang. Sementara itu, di Arabia Muhammad Ibn Wahhab dengan gerakan Wahabinya menjalin aliansi dengan penguasa lokal Ibn Su’ud. Mereka menguasai berbagai daerah di zajirah dan sekitarnya pada paroh abad ke-18 M. sehingga pemberontakan yang terjadi ketika Ustmani sedang mengalami kemunduran tidak hanya datang dari non-Muslim tapi juga dari orang Muslim. Gerakan seperti itu terus berlanjut dan menjadi semakin besar pada masa setelahnya, yakni pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 M. di tambah dengan gerakan pembaharuan politik dipusat pemerintahan. Kerajaan Turki Ustmani berakhir dengan berdirinya Republik Turki pada tahun 1924 M.
Lebih jelas penyebab kemunduran kerajaan Ustmani terkelompok dalam beberapa faktor berikut :
1. Wilayah kekuasaan yang sangat luas
Atminstrasi suatu wilayah yang sangat luas akan sangat sulit dan kompleks, sementara atministrasi kerajan Ustmani tidak beres. Di sisi lain pemerintah menginginkan perluasan wilayah, sehingga terlibat perang yang menyedot potensi yang seharusnya dapat di gunakan untuk membangun negara.
2. Keadaan penduduk yang heterogen
Kerana memiliki kekuasaan yang sangat luas, daerah itu di diami oleh penduduk yang beragam mulai dari Agama, Ras, Suku, maupun adat istiadat. Yang seringkali melatarbelakangi pemberontakan dan peperangan.
3. Kelemahan para penguasa
Sepeninggalan Sulaiman, Ustmani di pimpin oleh raja yang lemah. Baik lemah dalam kepribadian dan utamanya dalam kepemimpin-an. Akibatnya, pemerintahan menjadi kacau dan seringkali tidak dapat di selesaikan secara sempurna, bahkan menjadi parah.
4. Budaya pungli
Setiap penguasa yang ingin eksis harus membayar sokongan kepada orang yang memberikan jabatan tersebut. Berjangkitnya budaya ini, membuat dekadensi moral kian merajalela yang membuat pejabat semakin rapuh.
5. Pemberontakan tentara Jenissari
Pasukan Jenissari merupakan penentu kesuksesan dalam melakukan ekspansi, sehingga bila pasukan ini memberontak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi. Pasukan ini melakukan empat kali pemberontakan 1525 M, 1632 M, 1727 M, dan 1826.
6. Merosotnya ekonomi
Ekspansi yang dialkukan dengan peperangan tak pernah henti dan juga pemberontakan, sehingga mengakibatkan perekonomian negara merosot, sementara belanja negara semakin meningkat termasuk untuk biaya perang.
7. Tejadinya stagnasi dalam lapangan ilmu dan teknologi
Ustmani seringkali hanya memperhatikan perluasan daerah, sehingga hanya memperhatikan pengembangan kekuatan militer. Kurangnya dalam mengembagkan Ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan ketidak mampuan menghadapi kekuatan persenjataan Eropa yang di imbangi dengan Teknologi.
E. Kesimpulan
Nama kerajaan Ustmani diambil dari nama Sultan pertama bernama Ustmani. Beliau dengan gigihnya meneruskan cita-cita ayahnya sehingga dapat menguasai suatu wilayah yang cukup luas dan dapat dijadikan sebuah kerajaan yang kuat. Bangsa Turki Ustmani berasal dari suku Qoyigh, salah satu kabilah Turki yang amat terkenal. Pada abad ke-13 mereka mendapat serangan dari bangsa Mongol. Akhirnya mereka mencari perlindungan dari saudaranya, yaitu Turki Seljuk. Dibawah pemerintahan Ortoghul, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alaudin yang sedang melawan Bizantium. Karena bantuan mereka, Sultan Alaudin dapat mengalahkan Bizantium. Kemudian Sultan Alaudin memberi imbalan tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Setelah Sultan Alaudin wafat (1300 M), orang-orang Turki segera memproklamirkan kerajaan Turki Ustmani dengan Ustmani I sebagai sultannya.
Perluasan wilayah kerajaan Turki terjadi dengan cepat, sehingga membawa kejayaan, disamping itu raja-raja yang berkuasa sangat mempunyai potensi yang kuat dan baik. Banyak daerah-daerah yang dapat dikuasai (di Asia Kecil) sehingga memperkuat berdirinya kerajaan Turki Ustmani. Salah satu sumbangan terbesar kerajaan Turki Ustmani dalam penyebaran Islam adalah penaklukkan kota benteng Constantinopel (Bizantium) ibukota Romawi Timur (1453 M), penaklukkan kota itu terjadi pada masa Sultan Muhammad II (1451-1481 M) yang terkenal dengan gelar Al-Fatih. Dalam perkembangan selanjutnya kerajaan Turki Ustmani mengalami kemajuan yang sangat pesat. Kemajuan-kemajuan tersebut meliputi bidang kemiliteran, pemerintahan, kebudayaan dan agama. Selanjutnya Turki Ustmani mengalami puncak keemasan adalah pada masa pemerintahan Sulaiman I (1520-1566 M) yang terkenal dengan
sebutan Sulaiman Agung.
Dari perkembangan yang sangat baik itu maka Turki Ustmani mengalami kemajuankemajuan yang mendukung sekali dalam pemerintahannya diantaranya : Dalam bidang kemiliteran dan pemerintahan. Turki mempunyai militer yang sangat kuat dan siap bertempur kapan dan dimana saja. Di bidang urusan pemerintahan dibuat undang-undang yang berguna untuk mengatururusan pemerintahan di Turki Ustmani. Dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Budaya. Turki kaya akan kebudayaan, karya telah terjadi akulturasi budaya antara Arab, Persia dan Bizantium. Akan tetapi dalam bidang ilmu pengetahuan Turki Ustmani tidak begitu menonjol karena terlalu berfokus pada bidang kemiliteran. Dalam Bidang Keagamaan. Peranan agama di Turki Ustmani sangatlah besar terutama dalam tradisi masyarakat. Mufti/Ulama' menjadi pejabat tinggi dalam urusan agama dan berwenang memberi fatwa resmi terhadap problem keagamaan yang dihadapi masyarakat. Tanda kemunduran kerajan Turki Ustmani terjadi setelah masa pemerintahan Sulaiman (1520-1566 M) berakhir, yaitu terjadi pertikaian diantara anak Sulaiman untuk memperebutkan kekuasaan. Turki Ustmani mengalami kekacauan, satu persatu daerah kekuasaannya melepaskan diri, karena tidak ada pengganti pemimpin yang kuat dan cakap.





Dafta pustaka
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1999

Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Nabi Adam Sampai Abad XX, Jakarta : Mutiara Faza, 2007

Phillip K Hitti, History of the Arabs,

Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Amzah, 2009

Musyrifah Suanato, Sejarah Islam Klasik, perkembangan ilmu pengetahuan Islam, Jakarta : Pranada Media,2003

khuluk

KHULU’
I. PENDAHULUAN
Dalam menjalani kehidupan seseorang tidak akan luput dari masalah baik masalah yang datangnya dari diri sendiri, keluaga, lingkungan , bahkan negara. Begitu juga dalam rumah tangga, pasangan suami istri akan mengalaminya bahkan sebagian orang mengatakan tanpa adanya masalah dalam kehidupan suami istri akan terasa hambar.
Tidak sedikit masalah yang terjadi dalam hubungan suami istri yang berakibat pada perceraian. Dengan berbagai action-nya mulai dari thalak, khuluk, syiqaq, lian, fasak, ataupun ilaa, dan zhihar.
Khulu’ merupakan salah satu solusi yang ditawarkan oleh Islam untuk “keluar” dari masalah tersebut. Kaitannya dengan keadilan khuluk merupakan hak mutlak seorang istri untuk meminta cerai kepada suaminya. Sebagaimana suami yang berhak menalak istrinya.
Dalam makalah ini secara singkat mengkaji seluk-beluk masalah khulu’ tersebut. Kiranya dapat diambil manfaatnya.

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian dan dasar hukum khulu’
Khulu’ berasal dari kata khala’a yang berasal dari bahasa arab yang berarti menanggalkan atau membuka pakaian. Pengetian ini disandarkan kepada ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 187. Karena perempuan menanggalkan laki-laki yang menjadi pakaiannya.
…  •   •  
Mereka (istri-istri) adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah bagi mereka.
Sedangkan menurut ensiklopedi hukum Islam, khulu’secara etimologi diartikan dengan menanggalakan atau melepaskan. Dan menurut terminologi adalah salah satu cara melepaskan ikatan perkawinan yang datangnya dari pihak istri dengan kesediaan membayar ganti rugi.
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan masalah khulu’perbedaan ini terjadi dikalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabiyah serta beberapa ulama lainnya. Akan tetapai menurut Wahbah az-Zuhaili yang merupakan ulama ahli fiqh di Universitas Damaskus (Suriah) dan dikutip dalam ensiklopedi hukum Islam, pendapat imam syafiilah yang berlaku luas yaitu “perceraian antara suami dan istri dengan ganti rugi, baik menggunakan lafad Thalak maupun dengan menggunkan lafad khulu.”
Menurut kompilasi hukum Islam pada pasal 1 poin i disebutkan bahwa khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwad kepada dan atas persetujuan suaminya.
Khulu’ merupakan perceraian yang dikehendaki oleh istri. Hukum khulu’ menurut jumhur ulama adalah boleh dan mubah. Dasar kebolehan khulu’ terdapat dalam al-Qur’an dan hadis Nabi. Ayat al-qur’an yang dijadikan landasan khulu’ adalah surat al-baqarah 229:
                            
Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.
Tujuan dari kebolehan khulu’ adalah untuk menghindarkan istri dari kesulitan dan kemudharatan yang dirasakan apabila perkawinan dilanjutkan tanpa merugikan suami karena ia sudah mendapatkan iwad dari istri atas permintaan cerai istrinya tersebut .
Sebagian ulama, diantaranya Abu Bakar bin Abdullah al-Muzanny berpendapat tidak boleh melakukan khulu’jika tetap dilakukan maka yang berlangsung adalah thalak bukan khulu’pendapat yang dikutip dari pendapat Ibnu Qudhamah ini beralasan bahwa khulu’yang pada hakekatnya adalah suami mengambil kembali mahar yang telah diberikan kepada istrinya dalam bentuk iwad yang berdasarkan bahwa ayat diatas telah di nasakh pleh ayat 20 surat an-Nisa’yang berbunnyi :
    •              
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain , sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?

B. Hal-hal yang berkaitan dengan khulu’
1. Waktu terjadinya khulu’
Berbeda dengan thalak, yang dilarang melakukan thalak pada saat istri sedang tidak suci atau suci tapi telah dicampuri, yang apabila dilakukan disebut dengan thalak bid’i. Khulu’ dapat dilakukan kapan saja tanpa terkait dengan waktu tertentu. Alasan tidak boleh menjatuhkan thalak pada waktu haid atau suci tapi telah dicampuri karena akan mendatangkan kemudaratan bagi istri dengan memanjangnya masa iddah yang harus dilaluinya. Khulu’ yang merupakan perceraiana atas permintaan istri yang dengan sendirinya ia telah menerima resiko apapun atas permintaannya itu, termasuk panjangnya masa iddah.
2. Bentuk perceraian
Dalam perceraian yang terjadi pada masalah khulu’ ulama terjadi perbedaan pendapat.
Pendapat pertama yang berasal dari Ibnu Qudamah yang dikutip oleh Amir Syarif , dipegangi juga oleh Abu Bakar, Ibnu Abbas, Tawus, Ikrimah, Ikrimah, Ishak, Abu Tsur, Imam as-Syafi’iy dan salah satu riwayat yang berasal dari Imam Ahmad berpendapat bahwa perceraian dalam bentuk khulu’ adalah fasak. Alasan yang dipegangi oleh ulama ini bahwa ayat tentang khulu’ bersamaan datangnya dengan ayat tentang thalak dua kali dan kemudian disusul dengan perceraian. Bila khulu’ diartikan dengan thalak, maka perceraiannya menjadi empat kali. Hal itu tidak mungkin, maka khulu’ disini berati thalak.
Pendapat yang kedua dari said bin almusayyad, al-Hasan, Atha, Qubaishah, syuraib, Syuraih, Nakha’iy, Malik, Hanafiyah, dan satu pendapat dari riwayat Imam Ahmad mengatakan bahwa perceraian dengan khulu’ berbentuk thalak. Alasan pendapat ini adalah bahwa khulu’ itu adalah thalak dan diucapkan oleh suami, meskipun atas permintaan istri dengan memberikan iwadh.
Perbedaan pendapat ini membawa kepada akibat hukum dalam hal berapa kali diboleh melakukan khulu’. Atas dasar pendapat yang mengatakan bahwa khulu’ itu adalah fasak, boleh melakukan khulu’ berapa kalipun tanpa tanap memerlukan muhallil. Sedangkan jika khulu’ adalah thalak, maka khulu’ tidak boleh lebih dari tiga kali, jika suami telah melakukan khulu’ sebanyak tiga kali ia baru dapat kembali lagi kepada istrinya setelah adanya muhallil sebagaimana yang berlaku dalam thalak.
Setelah sighat khulu’ diucapkan oleh suami atas permintaan istri, suami telah pula menerima tebusan, maka perkawinan putus dalam bentuk thalak bain shugra dalam arti tidak boleh rujuk namun boleh melangsungkan pernikahan kembali tanpa muhallil. Jumhur ulama berpendapat bahwa khulu’ itu dalam arti thalak yang berarti mengurangi jumlah bilangan cerai.
3. Rukun dan syarat khulu’
Dalam khulu’ terdapat beberapa rukun yang merupakan karakteristik dari khulu’ itu dan di dalam setiap rukun terdapat beberapa syarat yang hampir keseluruhannya menjadi perbincangan dikalangan ulama.
Adapun beberapa rukun khulu’ adalah :
Pertama suami yang menceraikan istrinya dengan tebusan, hal ini terlihat pada lafad atau shigat yang digunakan oleh suami dalam mengkhulu’ istrinya misalkan lafad aku ceraikan atau khulu’ engkau dengan iwad sebesar Rp 100.000,─(Seratus Ribu Rupiah) kemudian istri menjawab “Aku bersedia membayar iwadnya” atau lafad yang datangnya dari istri “thalaklah atau khuluklah aku dengan membayar iwad Rp 100.000,” suami menjawab “ Aku bersedia”. kedua istri yang meminta cerai dari suaminya dengan uang tebusan. Ketiga adanya uang tebusan atau iwad, dan yang keempat Alasan untuk terjadinya khulu’. Menurut KHI alasan untuk bisa melakukan khulu’sebagimana alasan untuk melaksanakan perceraian.
4. Pelaksanaan khulu’
Akibat perbedaan masalah khulu’ berdampak pula pada pelaksanaan khulu’. Apakah harus di depan hakim. Jumhur ulama yang di antaranaya adalah imam Malik, as-Syafi’i, al-Zuhri Ishak, dan ulama dan ulama Hanafiyyah serta riwayat dari imam Ahmad mengatakan bahwa khulu’ dapat dilakukan sendiri antara suami dan istri dan tidak harus di depan hakim atau oleh hakim. Hal ini sebagaiman pendpat mereka bahwa thalak adalah khulu’ sehingga tidak perlu diketahui oleh orang lain.
Pendapat selanjutnya dalah pendapat yang dipegangi oleh Hasan dan Ibn Sirrin yang mengatgakan bahwa khulu’ tidak boleh dilaksanakan kecuali didepan hakim. Kiranya pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi yang menyangkut Tsabit bin Qeis itu penetapan dan terjadinya khulu’ atas perintah Nabi, sedangkan Nabi dalam hal ini berkedudukan sebagai hakim atau penguasa.
5. Ruju’ setelah khulu’
Bagi yang berperpendapat bahwa khulu’ itu merupakan fasakh tidak ada pendapat yang mengatakan bahwa ruju’ berlaku setelah khulu’.
Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh melakukan ruju’ setelah khulu’ karena meskipun khulu’ itu berbentuk thalak, namun termasuk thalak bain, yang tidak memberikan kemungkinan untuk ruju’.
Ulam yang lain seperti Abu tsur berpendapat bahwa dalam ucapan khulu’ menggunkan kata thalak maka boleh ruju’. Karena rujuk diperbolehkan bagi yang melakukan thalak, dan iwad yang diberikan tidak akan menggugurkan ruju’. Atau pendapt al-Zuhri dimana suami berhak memilih menerima atau menolak iwad, jika menolak maka ia berhak untuk ruju’.
6. Akibat dari khulu’
Ulam juga berbeda pendapat tentang akibat yang ditimbulkan oleh khulu’ apakah dapat diikuti dengan talak atau tidak.
Perbedaan terjadi pada Imam Malik dan Abu Hanifah, perbedaan terjadi karena golongan pertama berpendapat bahwa iddah termasuk hukum thalak, sedangkan golongan kedua memasukkan iddah pada hukum nikah. Oleh karenanya, ia tidak membolehkan seseorang menikahi perempuan yang saudaranya masih dalam iddah thalak bain.
Bagi fuqaha yang mengatakan bahwa iddah termasuk dalam hukum pernikahan, khulu’ dapat dapat diikuti dengan thalak. Sedang yang tidak berpendapat demikian, khulu’ tidak dapat diikuti dengan thalak.
Para jumhur sepakat bahwa suami yang menjatuhkan kulu’ tidak dapat merujuk mantan istri pada masa iddah, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari Said bin Muayyad dan Ibnu Syihab yang berpendapat jika suami mengembalikan tebusannya maka ia dapat mempersaksikan rujuknya itu. Pendapat jumhur fuqaha telah sepakat bahwa suami dapat menikahi mantan istinya yang di khulu’pada masa iddahnya dengan persetujuannya. Namun sebagian ulam mutaakhirin berpendapat bahwa suami ataupun orang lain tidak dapat menikahi istrinya pada masa iddah.
Fuqaha juga berselisih tentang masa iddah, jika suami istri berselisih tentang besarnya tebusan. Menurut Malik, yang menjadi pegangan adalah kata-kata suami jika tanpa saksi. Imam Syafii, suami istri bersumpah, dan istri dikenai seperti maharnya. Imam Malik juga menyamakan istri sebagi pihak tergugat dan suami sebagai pihak penggugat.
7. Hikmah Khulu’
Jika terjadi perselisihan dalam rumah tangga yakni antara suami istri, tidak jarang perselisihan ini mengakibatkan pada keinginan berpisah satu sama lain. Mungkin istri merasa tidak kuat lagi bergaul dengan suaminya.
Adapun hikmah dari hukum khulu’ adalah tampaknya keadilan Allah kaitannya dengan hubungan suami istri. Jika suami berhak melepaskan hubungan dengan istrinya melalui thalak, maka isrti juga mempunyai hak melepaskan tali pernikahannya dengan suaminya dengan menggunakan cara khulu’. Hal ini didasarkan pada pandangan fiqh bahwa perceraian merupakan hak mutlak seorang suami yang tidak dimiliki oleh istri kecuali dengan cara lain.

C. khuluk dalam hukum positif di Indonesia
Dalam pasal 148 KHI, dijelaskan beberapa ketenuan berikut :
1. Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk, mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai sebab atau alasan-alasannya.
2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil istri dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing.
3. Dalam persidangan tersebut, Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khuluk, dan memberikan nasehat-nasehatnya.
4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan tersebut tidak dapat dilakukan banding dan kasasi.
5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (5).
6. Dalam hal tidak tercapainya kesepakatan besarnya iwadl, Pengadilan Agama memeriksa dan memutus sebagai perkara biasa.

III. KESIMPULAN dan PENUTUP
Dalam menjalani bahtera rumah tangga tidaklah semua keluarga dapat berjalan mulus tanpa adanya batu-batu yang menjadi sandungannya. Bahkan tidak sedikit pula keluarga yang harus kandas ditengah jalan, yang hurus diakhiri oleh perceraian dengan pasangannya.
Perkawinan dalam agama islam akan menjadi putus dengan perceraian. Dalam hukum islam sendiri perceraian terjadi dengan beberapa cara yang salah satunya adalah dengan khulu’.
Hukum Islam memberikan jalan kepada istri yang menghendaki perceraian dengan mengajukan khulu’ sebagaimana hukum islam memberikan kepada suami untuk menceraikan suaminya dengan jalan talak.
Khulu’ menurut jumhur ulama dikategorikan kedalam thalak bain sebagaimana hadis yang telah disebut diatas “ terimalah kebunmu dan thalaklah ia satu kali” sedangkan fasakh merupakan putusan hakim kepada suami untuk mencerai istrinya karena adanya perpecahan diantara mereka. Dan perceraian ini bukanlah karena kemauannya, sedangkan khulu’ merupakan kemauan bersama.
Dengan demikian, terasalah keadilan Islam sebagai agama yang rahmatan li al-alamin memandang hubungan suami istri dengan proporsional.
Kiranya demikianlah makalah yang dapat penulis selesaikan, yang masih banyak kekurangan tentunya. Kritik yang membangun sangat penulis tunggu untuk perbaikan pada penulisan-penulisan berikutnya. Sukran Jazilan


REFERENSI

Amin Summa, Muhammad, Hukum keluarga islam di dunia islam, Jakarta : Raja Grfindo Persada, Cet 2, 2005

Dahlan, Abdul Azis, ed, Ensiklipedi Hukum Islam, Jakarta : PT Ictiar Baru Van Hoeve, Jilid.3, 1996

Daly, Peunah, Hukum perkawinan Islam (suatu studi perbandingan dalam kalangan Ahlus-Sunnah dan negara-negara Islam), Jakarta : Bulan Bintang, 1988

Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003
Muctar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta : Bulan Bintang, 1974
Nur, Djamaluddin, fiqih munakahat, semarang : toha putra , 1993

Thalib, M , perkawinan menurut islam, Surabaya : al-Ikhlas, 1993

Undang-undang republik indonesia nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan kompilasi hukum Islam, Bandung : Citra Umbara, 2007