Rabu, 26 Mei 2010

khuluk

KHULU’
I. PENDAHULUAN
Dalam menjalani kehidupan seseorang tidak akan luput dari masalah baik masalah yang datangnya dari diri sendiri, keluaga, lingkungan , bahkan negara. Begitu juga dalam rumah tangga, pasangan suami istri akan mengalaminya bahkan sebagian orang mengatakan tanpa adanya masalah dalam kehidupan suami istri akan terasa hambar.
Tidak sedikit masalah yang terjadi dalam hubungan suami istri yang berakibat pada perceraian. Dengan berbagai action-nya mulai dari thalak, khuluk, syiqaq, lian, fasak, ataupun ilaa, dan zhihar.
Khulu’ merupakan salah satu solusi yang ditawarkan oleh Islam untuk “keluar” dari masalah tersebut. Kaitannya dengan keadilan khuluk merupakan hak mutlak seorang istri untuk meminta cerai kepada suaminya. Sebagaimana suami yang berhak menalak istrinya.
Dalam makalah ini secara singkat mengkaji seluk-beluk masalah khulu’ tersebut. Kiranya dapat diambil manfaatnya.

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian dan dasar hukum khulu’
Khulu’ berasal dari kata khala’a yang berasal dari bahasa arab yang berarti menanggalkan atau membuka pakaian. Pengetian ini disandarkan kepada ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 187. Karena perempuan menanggalkan laki-laki yang menjadi pakaiannya.
…  •   •  
Mereka (istri-istri) adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah bagi mereka.
Sedangkan menurut ensiklopedi hukum Islam, khulu’secara etimologi diartikan dengan menanggalakan atau melepaskan. Dan menurut terminologi adalah salah satu cara melepaskan ikatan perkawinan yang datangnya dari pihak istri dengan kesediaan membayar ganti rugi.
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan masalah khulu’perbedaan ini terjadi dikalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabiyah serta beberapa ulama lainnya. Akan tetapai menurut Wahbah az-Zuhaili yang merupakan ulama ahli fiqh di Universitas Damaskus (Suriah) dan dikutip dalam ensiklopedi hukum Islam, pendapat imam syafiilah yang berlaku luas yaitu “perceraian antara suami dan istri dengan ganti rugi, baik menggunakan lafad Thalak maupun dengan menggunkan lafad khulu.”
Menurut kompilasi hukum Islam pada pasal 1 poin i disebutkan bahwa khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwad kepada dan atas persetujuan suaminya.
Khulu’ merupakan perceraian yang dikehendaki oleh istri. Hukum khulu’ menurut jumhur ulama adalah boleh dan mubah. Dasar kebolehan khulu’ terdapat dalam al-Qur’an dan hadis Nabi. Ayat al-qur’an yang dijadikan landasan khulu’ adalah surat al-baqarah 229:
                            
Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.
Tujuan dari kebolehan khulu’ adalah untuk menghindarkan istri dari kesulitan dan kemudharatan yang dirasakan apabila perkawinan dilanjutkan tanpa merugikan suami karena ia sudah mendapatkan iwad dari istri atas permintaan cerai istrinya tersebut .
Sebagian ulama, diantaranya Abu Bakar bin Abdullah al-Muzanny berpendapat tidak boleh melakukan khulu’jika tetap dilakukan maka yang berlangsung adalah thalak bukan khulu’pendapat yang dikutip dari pendapat Ibnu Qudhamah ini beralasan bahwa khulu’yang pada hakekatnya adalah suami mengambil kembali mahar yang telah diberikan kepada istrinya dalam bentuk iwad yang berdasarkan bahwa ayat diatas telah di nasakh pleh ayat 20 surat an-Nisa’yang berbunnyi :
    •              
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain , sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?

B. Hal-hal yang berkaitan dengan khulu’
1. Waktu terjadinya khulu’
Berbeda dengan thalak, yang dilarang melakukan thalak pada saat istri sedang tidak suci atau suci tapi telah dicampuri, yang apabila dilakukan disebut dengan thalak bid’i. Khulu’ dapat dilakukan kapan saja tanpa terkait dengan waktu tertentu. Alasan tidak boleh menjatuhkan thalak pada waktu haid atau suci tapi telah dicampuri karena akan mendatangkan kemudaratan bagi istri dengan memanjangnya masa iddah yang harus dilaluinya. Khulu’ yang merupakan perceraiana atas permintaan istri yang dengan sendirinya ia telah menerima resiko apapun atas permintaannya itu, termasuk panjangnya masa iddah.
2. Bentuk perceraian
Dalam perceraian yang terjadi pada masalah khulu’ ulama terjadi perbedaan pendapat.
Pendapat pertama yang berasal dari Ibnu Qudamah yang dikutip oleh Amir Syarif , dipegangi juga oleh Abu Bakar, Ibnu Abbas, Tawus, Ikrimah, Ikrimah, Ishak, Abu Tsur, Imam as-Syafi’iy dan salah satu riwayat yang berasal dari Imam Ahmad berpendapat bahwa perceraian dalam bentuk khulu’ adalah fasak. Alasan yang dipegangi oleh ulama ini bahwa ayat tentang khulu’ bersamaan datangnya dengan ayat tentang thalak dua kali dan kemudian disusul dengan perceraian. Bila khulu’ diartikan dengan thalak, maka perceraiannya menjadi empat kali. Hal itu tidak mungkin, maka khulu’ disini berati thalak.
Pendapat yang kedua dari said bin almusayyad, al-Hasan, Atha, Qubaishah, syuraib, Syuraih, Nakha’iy, Malik, Hanafiyah, dan satu pendapat dari riwayat Imam Ahmad mengatakan bahwa perceraian dengan khulu’ berbentuk thalak. Alasan pendapat ini adalah bahwa khulu’ itu adalah thalak dan diucapkan oleh suami, meskipun atas permintaan istri dengan memberikan iwadh.
Perbedaan pendapat ini membawa kepada akibat hukum dalam hal berapa kali diboleh melakukan khulu’. Atas dasar pendapat yang mengatakan bahwa khulu’ itu adalah fasak, boleh melakukan khulu’ berapa kalipun tanpa tanap memerlukan muhallil. Sedangkan jika khulu’ adalah thalak, maka khulu’ tidak boleh lebih dari tiga kali, jika suami telah melakukan khulu’ sebanyak tiga kali ia baru dapat kembali lagi kepada istrinya setelah adanya muhallil sebagaimana yang berlaku dalam thalak.
Setelah sighat khulu’ diucapkan oleh suami atas permintaan istri, suami telah pula menerima tebusan, maka perkawinan putus dalam bentuk thalak bain shugra dalam arti tidak boleh rujuk namun boleh melangsungkan pernikahan kembali tanpa muhallil. Jumhur ulama berpendapat bahwa khulu’ itu dalam arti thalak yang berarti mengurangi jumlah bilangan cerai.
3. Rukun dan syarat khulu’
Dalam khulu’ terdapat beberapa rukun yang merupakan karakteristik dari khulu’ itu dan di dalam setiap rukun terdapat beberapa syarat yang hampir keseluruhannya menjadi perbincangan dikalangan ulama.
Adapun beberapa rukun khulu’ adalah :
Pertama suami yang menceraikan istrinya dengan tebusan, hal ini terlihat pada lafad atau shigat yang digunakan oleh suami dalam mengkhulu’ istrinya misalkan lafad aku ceraikan atau khulu’ engkau dengan iwad sebesar Rp 100.000,─(Seratus Ribu Rupiah) kemudian istri menjawab “Aku bersedia membayar iwadnya” atau lafad yang datangnya dari istri “thalaklah atau khuluklah aku dengan membayar iwad Rp 100.000,” suami menjawab “ Aku bersedia”. kedua istri yang meminta cerai dari suaminya dengan uang tebusan. Ketiga adanya uang tebusan atau iwad, dan yang keempat Alasan untuk terjadinya khulu’. Menurut KHI alasan untuk bisa melakukan khulu’sebagimana alasan untuk melaksanakan perceraian.
4. Pelaksanaan khulu’
Akibat perbedaan masalah khulu’ berdampak pula pada pelaksanaan khulu’. Apakah harus di depan hakim. Jumhur ulama yang di antaranaya adalah imam Malik, as-Syafi’i, al-Zuhri Ishak, dan ulama dan ulama Hanafiyyah serta riwayat dari imam Ahmad mengatakan bahwa khulu’ dapat dilakukan sendiri antara suami dan istri dan tidak harus di depan hakim atau oleh hakim. Hal ini sebagaiman pendpat mereka bahwa thalak adalah khulu’ sehingga tidak perlu diketahui oleh orang lain.
Pendapat selanjutnya dalah pendapat yang dipegangi oleh Hasan dan Ibn Sirrin yang mengatgakan bahwa khulu’ tidak boleh dilaksanakan kecuali didepan hakim. Kiranya pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi yang menyangkut Tsabit bin Qeis itu penetapan dan terjadinya khulu’ atas perintah Nabi, sedangkan Nabi dalam hal ini berkedudukan sebagai hakim atau penguasa.
5. Ruju’ setelah khulu’
Bagi yang berperpendapat bahwa khulu’ itu merupakan fasakh tidak ada pendapat yang mengatakan bahwa ruju’ berlaku setelah khulu’.
Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh melakukan ruju’ setelah khulu’ karena meskipun khulu’ itu berbentuk thalak, namun termasuk thalak bain, yang tidak memberikan kemungkinan untuk ruju’.
Ulam yang lain seperti Abu tsur berpendapat bahwa dalam ucapan khulu’ menggunkan kata thalak maka boleh ruju’. Karena rujuk diperbolehkan bagi yang melakukan thalak, dan iwad yang diberikan tidak akan menggugurkan ruju’. Atau pendapt al-Zuhri dimana suami berhak memilih menerima atau menolak iwad, jika menolak maka ia berhak untuk ruju’.
6. Akibat dari khulu’
Ulam juga berbeda pendapat tentang akibat yang ditimbulkan oleh khulu’ apakah dapat diikuti dengan talak atau tidak.
Perbedaan terjadi pada Imam Malik dan Abu Hanifah, perbedaan terjadi karena golongan pertama berpendapat bahwa iddah termasuk hukum thalak, sedangkan golongan kedua memasukkan iddah pada hukum nikah. Oleh karenanya, ia tidak membolehkan seseorang menikahi perempuan yang saudaranya masih dalam iddah thalak bain.
Bagi fuqaha yang mengatakan bahwa iddah termasuk dalam hukum pernikahan, khulu’ dapat dapat diikuti dengan thalak. Sedang yang tidak berpendapat demikian, khulu’ tidak dapat diikuti dengan thalak.
Para jumhur sepakat bahwa suami yang menjatuhkan kulu’ tidak dapat merujuk mantan istri pada masa iddah, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari Said bin Muayyad dan Ibnu Syihab yang berpendapat jika suami mengembalikan tebusannya maka ia dapat mempersaksikan rujuknya itu. Pendapat jumhur fuqaha telah sepakat bahwa suami dapat menikahi mantan istinya yang di khulu’pada masa iddahnya dengan persetujuannya. Namun sebagian ulam mutaakhirin berpendapat bahwa suami ataupun orang lain tidak dapat menikahi istrinya pada masa iddah.
Fuqaha juga berselisih tentang masa iddah, jika suami istri berselisih tentang besarnya tebusan. Menurut Malik, yang menjadi pegangan adalah kata-kata suami jika tanpa saksi. Imam Syafii, suami istri bersumpah, dan istri dikenai seperti maharnya. Imam Malik juga menyamakan istri sebagi pihak tergugat dan suami sebagai pihak penggugat.
7. Hikmah Khulu’
Jika terjadi perselisihan dalam rumah tangga yakni antara suami istri, tidak jarang perselisihan ini mengakibatkan pada keinginan berpisah satu sama lain. Mungkin istri merasa tidak kuat lagi bergaul dengan suaminya.
Adapun hikmah dari hukum khulu’ adalah tampaknya keadilan Allah kaitannya dengan hubungan suami istri. Jika suami berhak melepaskan hubungan dengan istrinya melalui thalak, maka isrti juga mempunyai hak melepaskan tali pernikahannya dengan suaminya dengan menggunakan cara khulu’. Hal ini didasarkan pada pandangan fiqh bahwa perceraian merupakan hak mutlak seorang suami yang tidak dimiliki oleh istri kecuali dengan cara lain.

C. khuluk dalam hukum positif di Indonesia
Dalam pasal 148 KHI, dijelaskan beberapa ketenuan berikut :
1. Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk, mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai sebab atau alasan-alasannya.
2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil istri dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing.
3. Dalam persidangan tersebut, Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khuluk, dan memberikan nasehat-nasehatnya.
4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan tersebut tidak dapat dilakukan banding dan kasasi.
5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (5).
6. Dalam hal tidak tercapainya kesepakatan besarnya iwadl, Pengadilan Agama memeriksa dan memutus sebagai perkara biasa.

III. KESIMPULAN dan PENUTUP
Dalam menjalani bahtera rumah tangga tidaklah semua keluarga dapat berjalan mulus tanpa adanya batu-batu yang menjadi sandungannya. Bahkan tidak sedikit pula keluarga yang harus kandas ditengah jalan, yang hurus diakhiri oleh perceraian dengan pasangannya.
Perkawinan dalam agama islam akan menjadi putus dengan perceraian. Dalam hukum islam sendiri perceraian terjadi dengan beberapa cara yang salah satunya adalah dengan khulu’.
Hukum Islam memberikan jalan kepada istri yang menghendaki perceraian dengan mengajukan khulu’ sebagaimana hukum islam memberikan kepada suami untuk menceraikan suaminya dengan jalan talak.
Khulu’ menurut jumhur ulama dikategorikan kedalam thalak bain sebagaimana hadis yang telah disebut diatas “ terimalah kebunmu dan thalaklah ia satu kali” sedangkan fasakh merupakan putusan hakim kepada suami untuk mencerai istrinya karena adanya perpecahan diantara mereka. Dan perceraian ini bukanlah karena kemauannya, sedangkan khulu’ merupakan kemauan bersama.
Dengan demikian, terasalah keadilan Islam sebagai agama yang rahmatan li al-alamin memandang hubungan suami istri dengan proporsional.
Kiranya demikianlah makalah yang dapat penulis selesaikan, yang masih banyak kekurangan tentunya. Kritik yang membangun sangat penulis tunggu untuk perbaikan pada penulisan-penulisan berikutnya. Sukran Jazilan


REFERENSI

Amin Summa, Muhammad, Hukum keluarga islam di dunia islam, Jakarta : Raja Grfindo Persada, Cet 2, 2005

Dahlan, Abdul Azis, ed, Ensiklipedi Hukum Islam, Jakarta : PT Ictiar Baru Van Hoeve, Jilid.3, 1996

Daly, Peunah, Hukum perkawinan Islam (suatu studi perbandingan dalam kalangan Ahlus-Sunnah dan negara-negara Islam), Jakarta : Bulan Bintang, 1988

Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003
Muctar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta : Bulan Bintang, 1974
Nur, Djamaluddin, fiqih munakahat, semarang : toha putra , 1993

Thalib, M , perkawinan menurut islam, Surabaya : al-Ikhlas, 1993

Undang-undang republik indonesia nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan kompilasi hukum Islam, Bandung : Citra Umbara, 2007

1 komentar: